Tante Mun dan Penjual Koran
Tante Mun tinggal di Jakarta di sebuah Perumahan Elite di bilangan BSD (Bumi Serpong Damai). Dia tinggal bersama Om In dan 2 sepupuku, Berta dan Andi. Suatu pagi sekitar jam 09.00 – 10.00 saat Tante tinggal sendirian di rumah (karena pembantu cuti pulang kampung), Om In sudah ngantor sepupu pada sekolah. Dari balik tirai jendela Tante melihat seorang pemuda lusuh yang menganakan topi, sehingga wajahnya tidak nampak jelas terlihat. Pemuda itu seumur dengan Andi yang masih duduk di bangku SMA, dia mondar mandir di depan rumah. Sebentar kemudian pemuda itu duduk sambil memperhatikan rumah Tante. Kelihatan sekali pemuda itu sedikit resah, gugup atau ragu-ragu, ya karena sesekali dia mengelap keringat yang menetes dari pelipisnya.Tante sangat ketakutan, beliau sudah berfikir yang macam macam. Ah Jangan …. Jangan Pemuda itu ingin merampok ? bagaimana kalau Pemuda itu tiba-tiba masuk kerumah dan menodongkan pisau ? Tante benar-benar ketakutan, beliau ikut mengeluarkan keringat dingin tetapi masih tetap memperhatikan Pemuda itu dari balik jendela. Apa lagi Tante seminggu yang lalu baru saja kecopetan di depan Mall, dompet yang berisi perhiasan dan uang tunai Rp. 1.550.000,- hilang saat Tante pulang, keluar dari sebuah Mall dan di tabrak oleh seorang Pemuda.
Tiba-tiba Pemuda itu masuk ke halaman rumah menuju pintu ruang tamu, Tante benar-benar ketakutan. Terlebih setelah agak dekat,Tante bisa melihat dengan jelas bahwa iu adalah Pemuda yang menabrak dan mencopet dompetnya seminggu yang lalu. Ingin sekali Tante menelpon Tetangga atau bahkan berteriak minta tolong, tapi Tante hanya diam terpaku sambil gemetar seluruh badan saking takutnya. Tetapi Pemuda itu dengan tergesa-gesa keluar lagi dan meninggalkan rumah tante. Dia hanya menaruh sebuah bungkuran di meja Teras yang ada di depan ruang tamu.
Untuk beberapa saat Tante masih terdiam, takut dan bingung. Dua puluh menit kemudian baru Tante keluar dan segera mengunci pintu pagar halaman dan masuk kembali sambilmengambil bungkusan yang ditinggal pemuda tadi. Tentu saja Tante tak lupa pula mengunci pintu ruang tamu.
Lalu Tante membuka bungkusan dan betapa kaget ternyata isinya adalah dompet hitam milik Tante yang dicopet seminggu yang lalu. Lebih kaget lagi Tante, ketika memeriksa isi dompetnya, Seluruh perhiasan, Uang Rp. 1.550.000,- dan beberapa recehan masih utuh tidak kurang satu rupiah pun. KTP, SIM, ATM, Credit Card dan semua surat-surat juga msih ada. Tidak ada satupun yang hilang dari dalam dompet itu. Lalu Tante membuka kertas yang ternyta sebuah surat yang ada bersama dompet Tante di dalam Bungkusan yang ditinggalkan Pemuda itu.
Ibu yang terhornmat …………….
Saya mohon maaf telah mencopet dompet Ibu seminggu yang lalu, tapi ini saya kembalikan lagi meskipun saya telah membuat repot Ibu tentu saja. Bersama dompet Ibu saya sempatkan menulis surat permohonan maaf ini dan sedikit ingin bercerita kenapa saya mencopet Dompet Ibu waktu itu. Ini bukan alasan untuk membela diri dan membenarkan tindakan saya mencopet. Saya tau tiada satupun alasan yang dapat dibenarkan saya mencopet dompet Ibu. Tapi setidaknya saya bisa curhat kepada Ibu, karena selama ini tiada tempat saya bisa mencurahkan segala isi hatisaya.
Sudah empat bulan ini saya tidak bersekolah (saya masih kelas 2 STM) karena menunggak bayar SPP. Saya bisa menerima hal itu karena memang orang tua tidak mampu membayarnya. Kedua orangtua saya hanya seorang pemulung. Tetapi yang membuat saya sedih dan sakit hati, karena Bapak saya akhir-akhir ini sering mabuk-mabukan dan mempunyai hobby berjudi kartu domino.
Saya mempunyai adik dua orang yang keduanya sudah tidak bersekolah lagi, kedua adik berjualan kue dan gorengan yang dibuat Emak sebelum berangkan mulung mengais sampah. Saya berjualan koran dari pagi sampai malam di depan Mall, tempat saya menabrak dan mencopet dompet Ibu. Kadang saya juga mengamen di Stasiun atau di Lampu merah. Saya bisa menerima keadaan ini dan menyadari bahwa saya harus bekerja keras untuk dapat menopang kehidupan kami sekeluarga.
Sepuluh hari yang lalu Emak sakit, dari PUSKEMAS emak di rujuk ke RS sakit dan harus di Rawat Inap. Tetapi kami tidak mampu melakukan itu karena kami tidak mempunyai uang untuk membwa Emak ke RS. Kami pun tidak bisa minta surat keterangan Keluarga Miskin untuk dapat berobat secara GRATIS di RS karena memang kami tidak memiliki surat-surat kependudukan di Jakarta ini. KAmihanya gelandangan yang membangun Gubuk di Bantaran Kali. Uang tabungan yang Emak kumpulkan hilang di ambil Bapak untuk berjudi, Emak tau itu tapi Emak hanya diam dan tetap selalu mendo’akan Bapak disetiap akhir sholatnya.
Saya memiliki dendam yang teramat besar,tetapi dendam kepada siapa saya tidak tahu. Emak tidak bisa berobat ke RS. Tetapi saya menyaksikan lalulalang orang bermobil mewah, sesekali melihat orang menghabiskan uang hanya untuk ngobrol berjam-jam dengan HP-nya. Saya dan adik-adik harus bekerja keras hanya sekedar untuk bisa makan nasi Tempe, Sambal Terasi. Sementara orang-orang menghabiskan ratusan ribu hanya untuk sekedar jajan di restauran cepat saji. Saya marah akan keadaan ini.
Saya bertekad untuk membawa Emak ke Rumah Sakit untuk di rawat, dengan jalan dan cara apapun. ‘Mencopet’ ide itu begitu saja muncul di pikiran saya. Selama dua hari saya putar-putar nai kBis Kota untuk mencopet,tapi tiada keberanian untuk menggerayangi saku atau dompet penumpang. Sampai di hari itu saya melihat Ibu keluar dari Mall dan memasukkan dompet ke dalam Tas belanjaan. Lalu saya tabrak Ibu dan saya Copet dompet Ibu (maaf kan saya).
Setelah saya mencopet dompet Ibu saya segera pulang. Saya mengajak Emak untupergi ke Rumah Sakit, sambil menunjukan uang. “Ayuuk Mak kita ke RS…. Emak harus sembuh…. Ini aku ada uang”. Tetapi Emak saya hanya menatap dengan mata nanar. Lalu EMak menanyakan dari mana saya peroleh uang sebanyak itu ?. Tadinya saya ingin berbohong kepada Emak dan mengatakan bahwa ini uang tabunganku. Tapi Emak selalu mengajarkan kejujuran kepada saya dan adik-adik. Saya bercerita apa adanya bahwa ini uang hasil saya mencopet.
Emak memeluk saya sambil menangis, dan saya mendengar Emak berdo’a lirih, “Ya Allah ….. maafkanlah anakku….. tunjukan anakku jalan yang lurus…… jalan yang Engkau ridloi”. Lalu Emak melepaskan pelukannya dan menatapku dengan tatapan penuh kasih. “Nak ….. kamu harus mengembalikan dompet ini utuh dengan isinya kepada pemiliknya”. Tidak ada nada marah saat Emak mengatakan itu. Ya Emak tidak marah atas perbuatanku yang tidak sesuai degan yang Emak ajarkan kepada kami selama ini.
Saya berlari keluar rumah, duduk di atas batu di pinggir kali dekat rumah. Saya bingung ingin berteriak sekeras-kerasnya atau menangis. Sempat terpikir bahwa uang sebanyak itu bisa saya gunakan untuk hura-hura, bahkan untuk mabuk-mabukan bersama Bapak untuk menghilangkan segala sesak di dada saat ini. Tapi saya tahu Emak akan sangat kecewa denga hal itu. Dan saya tidak lakukan itu. Saya putuskan untuk mengembalikan hak milik Ibu ini seutuhnya sambil saya benar-benar mohon Ibu memaafkan dengan apa yang telah saya lakukan.
Tante meneteskan air mata saat selesai membaca surat tanpa tanda tangan itu. Bahkan Tante berulang-ulang membaca surat itu. Dan akhirnya Tante ingin sekali bertemu Pemuda yang sedang gelisah tersebut.
Berhari-hari Tante mencari pemuda itu di depan Mall, di tempat-tempat para pengamen kumpul, di setiap lampu merah. Namun Tante tak kunjung menemukan pemuda tersebut. Karena lelah Tante istirahat dibawah Pohon yang rindang. Tante membaca lagi surat dari Pemuda itu. Surat sederhana ini telah mengganggu pikiran dan perasaan Tante. Tante tidak lagi silau akan kemewahan,bahkan saat Om memberi buah tangan baju-baju mewah dan mahal sepulang dari tugas luar kota, Tante mengusulkan untuk dibelikan oleh-oleh yang sederhana saja, yang biasa saja.
Tentu saja Om In dan juga Berta dan Andi sangat bingung dengan perubahan yang terjadi pada diri Tante Mun. Bahkan saat Om In ingin merayakan hari Ulang Tahun Tante di hotel bintang lima Tante menolaknya. Tante ingin masak sendiri dan membuat nasi bungkus untuk dibagikan kepada para anak jalanan. Lebih dari 100 bungkus nnasi yang Tante bikin.
Dengan di antar Om In,Berta dan Andi, mereka membagi-bagi nasi bungkus itu kepada setiap pengamen, pengemis dan gelandangan yang mereka temui di setiap Lampu merah yang dilalui. Saat hari sudah menjelang malam nasi bungkus tinggal 4 saja. Tante mengajak Om dan anak-anaknya untuk turun dipinggir jalan yang agak sepi. Lalu Tante mengajak mereka untuk makan bersama sambil duduk di trotoar. Sambil meneteskan air mata Tante menceritakan semuanya kepada Om In dan anak-anaknya. Selesai bercerita Berta dan Andi memeluk Tante sambil mengucapkan “ Kami bangga dan sangat menyayangi mama ……” dan Tante sempat berbisik, “Mama juga bangga jadi Ibu kalian, dan Mama ingin menjadi Ibu dari lebih anak-anak yang hidup di jalanan.”